Bursa saham Amerika Serikat (AS) dibuka memerah | PT Kontak Perkasa Futures Cabang Makassar
The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya pada minggu depan,” kata Adam Sarhan, CEO 50 Park Investment. Sarhan menegaskan data ekonomi AS yang membaik, membantu mengangkat kemungkinan kenaikan suku bunga.
Menurut FedWatch CME Group, saat ini, ekspektasi pasar untuk kenaikan suku bunga yang 84,1 %. Rencananya, The Fed akan bertemu antara Maret 14 dan 15.
Selain perihal suku bunga The Fed, investor juga mengamati kondisi geopolitik setelah Korea Utara menembakkan empat rudal balistik hari ini. Di mana, tiga di antaranya mendarat di zona ekonomi eksklusif Jepang, menurut Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) dibuka memerah pada perdagangan Senin (6/3). Seiring semakin menguatnya kemungkinan kenaikan suku bunga AS.
Mengutip CNBC, indeks Dow Jones Industrial Average turun sekitar 75 poin tak lama setelah pembukaan perdagangan, dengan saham Goldman Sachs kontribusi paling dalam pelemahannya. Indeks S & P 500 turun 0,45 %. Indeks Nasdaq terkoreksi 0,4 %.
Stabilitas Rupiah Masih Terjag | PT Kontak Perkasa Futures Cabang Makassar
Namun, untuk jangka panjang, pemerintah perlu mewaspadai kenaikan yield obligasi dan berpotensi meningkatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). ”Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus merilis kebijakan bersifat antisipasi jangka pendek hingga panjang,” tegasnya.
Sementara Wakil Ketua Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Raden Pardede menuturkan, efek kenaikan Fed Rate terhadap dunia usaha belum menentu. Itu sangat bergantung kebijakan BI merespon kenaikan Fed Rate. ”Penyesuaian Fed Rate sudah cukup lama diproyeksikan,” ungkapnya.
Kalau kenaikan Fed Rate 25 bps , BI dinilai tidak bakal mengerek suku bunga acuan BI. Kalau itu, menjadi pilihan BI, imbas terhadap dunia usaha tidak bakal signifikan. Apalagi, dunia usaha telah mengalkulasi potensi tersebut.
Nah, kalau kenaikan Fed Rate lebih dari 25 bps, USD akan meningkat drastis dan berpotensi menyedot dana di negara-negara berkembang (emerging market) balik ke AS. ”Nah, di sini BI harus hati-hati menjelaskan ke dunia usaha dan pasar,” ingatnya.
Di samping faktor fundamental, pemerintah juga terus mengantisipasi kenaikan Fed Rate. Terakhir, The Fed menaikkan suku bunga 25 basis points (bps) pada Desember 2016 lalu. Kala itu, pemerintah memperkuat cadangan devisa (Cadev) dan protokol manajamen krisis di pasar keuangan. ”Kami lihat hanya bersifat jangka pendek. Jadi, tidak perlu khawatir,” tambah Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal.
Menurut Faisal, saat ini fundamental ekonomi nasional cukup kuat. Itu terefleksi dari pertumbuhan ekonomi 5,02 persen, posisi cadev meningkat menjadi USD 117 miliar, dan neraca perdagangan surplus.
The Federal Reserve (The Fed) bakal menaikkan suku bunga acuan (Fed Rate) bulan ini. Langkah itu didasari perbaikan data tenaga kerja dan laju inflasi Negeri Paman Sam tersebut. Penyesuaian Fed Rate itu, disebut-sebut tidak bakal mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Lonjakan Fed Rate bakal membuat nilai tukar sejumlah mata uang negara-negara kawasan Asia bergejolak, tidak terkecuali rupiah. Namun, fluktuasi itu diyakini bersifat temporer (bersifat jangka pendek). Alasannya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia semakin kuat. ”Dampak Fed Rate tidak terlalu signifikan. Rupiah cenderung stabil,” tutur Ekonom Bank Permata Josua Pardede.
Menko Darmin: Kenaikan Fed Rate Tak Terlalu Berpengaruh ke RI | PT Kontak Perkasa Futures Cabang Makassar
Lebih lanjut dia juga memastikan bahwa kondisi fundamental Indonesia saat ini cukup baik meskipun sudah ada kabar bahwa suku bunga bank sentral AS akan naik. Terlebih lagi, kurs rupiah menurutnya tidak akan mengalami pelemahan yang signifikan.
"Fundamental kita relatif baik, artinya pertumbuhannya oke, perdagangan internasionalnya, neraca pembayarannya oke. Itu juga sebabnya kurs kita tidak melemah terus malah melemah, tapi kemudian ada naiknya," ungkapnya.
Dia menambahkan untuk jangka pendek, kenaikan suku bunga tersebut tidak terlalu berpengaruh dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Sedangkan untuk efek jangka panjangnya, Darmin belum mau memprediksikan lebih jauh. "Jangka panjang ya? Jangan dibicarakan sekarang, tidak ada yang tahu," tutupnya.
"Buktinya coba lihat dollar, itu tidak terus menguat selama ini, dia menguat lalu melemah lagi. Rupiah kita di Rp13.345-Rp13.350/USD. Jadi, jangan dianggap ini akan ada perubahan besar," sambungnya.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan, meski suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) alias Fed rate naik bulan ini bukan berarti menjadi kesempatan untuk mata uang dollar Amerika Serikat (USD) menjaga tren penguatan. Terlebih lagi ungkapnya, market sudah memperkirakan akan kenaikan ini, sehingga tidak akan terjadi gejolak ekonomi dunia yang signifikan.
Seperti diketahui, sebelumnya Federal Open Market Comitte (FOMC) meeting memutuskan kenaikan suku bunga fed pada Desember 2016 sebesar 0,25% setelah sekian lama ditahan di angka 0%. "Pasti akan ada dampaknya, tapi tidak besar. Selama ini semua perekonomian sudah mengantisipasi bahwa ini akan terjadi, tapi sudah dipricein dampaknya juga ya ada, misalnya seminggu, lalu tenang lagi," ucap Darmin, Senin (6/3/2016).
Kontak Perkasa Futures