"Sehingga pada awal Januari 2017 sudah bisa dilakukan penandatanganan kontrak untuk melaksanakan riset yang memungkinkan para peneliti mendapatkan anggaran penelitian lebih awal.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir mengatakan, capaian tersebut sangat tidak memuaskan. Pasalnya, Indonesia saat ini telah memiliki sebanyak 6.000 guru besar dan 31.000 lektor kepala. Jika saja setengah dari mereka mampu melakukan penelitian sekali dalam setahun, seharusnya ada 18.500 publikasi internasional dari Indonesia.
Jumlah publikasi internasional yang dihasilkan peneliti Indonesia masih rendah sehingga jauh tertinggal dari peneliti negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dengan memublikasikan sekitar 9.000 hasil penelitian per tahun, Indonesia hanya berada di peringkat keempat ASEAN.
Ia menegaskan, jumlah publikasi internasional yang masih sedikit itu mengindikasikan para profesor dan lektor kepala terlalu banyak melakukan kegiatan di luar kampus. Mereka seharusnya lebih banyak meluangkan waktu untuk konsentrasi meneliti. Menurut dia, riset yang dilakukan pun jangan sekadar riset dasar tapi harus ditingkatkan pada level prototipe dan inovasi.
"Hal ini yang akan kami dorong. Saya akan mewajibkan guru besar untuk minimal (menghasilkan) satu publikasi internasional dalam setahun dan untuk lektor kepala, dua tahun sekali. Malaysia ada di angka 23.000, Singapura 17.000, dan Thailand 13.000 per tahun. Jadi, pada 2017, Indonesia harus bisa melewati Singapura dan Thailand," kata Nasir, di Jakarta, Rabu 7 Desember 2016.
Ia menjelaskan, inovasi merupakan salah satu pengukur daya saing bangsa yang dihasilkan dari riset. Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati menambahkan, Kementerian telah melakukan sosialisasi peraturan yang baru untuk mendukung kegiatan riset di Indonesia.
"Jadi, kegiatan di perguruan tinggi yang tidak punya nilai tambah sebaiknya dipangkas dan dialihkan ke penelitian. Sehingga prototipe, hak paten, inovasi, dan kualitas dosen pun akan lebih baik. Saya berharap, imbauan ini dapat menghasilkan putusan yang lebih baik dan melihat kembali apa yang telah dilakukan," ujarnya.
Dimyati menyatakan, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106 tahun 2016, riset lebih ditekankan pada hasil karya dibandingkan pertanggugjawaban administrasi. "Artinya, guru besar dan lektor kepala akan lebih dibebaskan menghasilkan output dibandingkan mengurus berkas-berkas administratif yang membebankan dan meresahkan," ucapnya.
Menurut dia, dalam jangka waktu setahun, diharapkan sudah terbangun kesamaan persepsi dan mendalami serta memahami berbagai regulasi baru terkait penelitian di Indonesia.
Selain urusan administrasi, keterlambatan anggaran juga menjadi kendala yang sering membuat peneliti resah. Dimyati menuturkan, untuk mengikis keresaham tersebut, rencana penetapan proposal tahun 2017 akan dilakukan pada pertengahan Desember ini.
Ia menjelaskan, dampak dari permen tersebut, tren usulan proposal riset jadi meningkat. Pada 2015, sebanyak 28.200 dan pada 2016 meningkat sekitar 45.000. Dari jumlah tersebut, yang mampu dibiayai APBN pada 2015 baru sekitar 15.000 dan pada 2017 ditargetkan sekitar 16.000 proposal.
Tren pembiayaan memang terlihat naik namun sebenarnya hanya sekitar 40% dari keseluruhan. Artinya, pemerintah masih harus terus bekerja keras.
Menristekdikti: Profesor Harus Konsentrasi untuk Meneliti
Mantan Rektor Terpilih Universitas Dipenogoro (Undip) itu menjelaskan, jika 50 persen dari guru besar dan lektor mau melakukan penelitian dan menghasilkan publikasi internasional, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menempati posisi pertama di antara negara ASEAN lainnya. "Jika dari jumlah guru besar dan lektor kepala yang totalnya sekira 37 ribu tersebut setengahnya saja melakukan publikasi, maka bisa mencapai angka 18.500.
Sudah bisa menjadi juara di Asia Tenggara," sebutnya. Guna mendorong peningkatan tersebut, Kemristekdikti akan segera mengeluarkan regulasi yang mewajibkan guru besar menghasilkan satu publikasi internasinal per tahun. Sedangkan untuk lektor dua tahun sekali mengeluarkan publikasi internasional. "Otomatis harus kita pacu dan kerja keras. Kalau regulasi itu dilakukan dalam dua tahun, 2017-2018, maka Indonesia bisa mencapai publikasi terbanyak di 2019," tukasnya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir menyebut, 6.000 guru besar ditambah dengan 31 ribu lektor kepala seharusnya sudah bisa membuat Indonesia menjadi negara yang menghasilkan publikasi internasional terbanyak se-Asia Tenggara. Namun, kenyataannya saat ini jumlah publikasi internasional Tanah Air masih berada di posisi keempat di bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand.
"Jangan profesor terlalu banyak kegiatan di luar tapi konsentrasi meneliti, begitu juga dengan para lektor. Jumlah publikasi internasional Malaysia ada 23 ribu, Singapura 19 ribu, dan Thailand 13 ribu. Kita Indonesia masih 9.000 dengan potensi yang sangat besar ini," ujarnya usai membuka Rakor Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) dan Lembanga Penelitian Pengembangan di Hotel Millenium, Jakarta, Selasa (6/12/2016).