"Itu mereka (peserta aksi) mau ibadah, karena itu kita enggak ingin ada pihak lain yang mengganggu kesucian ini. GNPF (Gerakan Nasional Pembela Fatwa) bilang, 'Pak tolong jangan sampai ada orang yang mengganggu massa kita, memanfaatkan massa. Kita pun sudah enggak bisa pegang massa kalau jumlahnya sudah jutaan orang'," kata Tito Senin, 5 Desember 2016. Menurut Tito, penangkapan harus dilakukan untuk menjaga kesucian Aksi Bela Islam III, yang digelar di lapangan Monumen Nasional. Sebab, kepolisian mendapatkan informasi, bahwa aktivis itu berusaha menyusupi aksi damai yang berisi doa dan salat Jumat berjamaah.
Kata Tito, aktivis ini sudah bersiap untuk menggiring massa selepas acara di Monas selesai untuk bergerak ke DPR. Bahkan, demi mengantisipasi kemungkinan ini, kepolisian menurunkan enam ribu personil untuk mengamankan gedung DPR. "Kita kelilingi semua DPR."
Mereka adalah Ahmad Dhani, Eko Suryo Santjojo, Brigjen (Purn) TNI Adityawarman Thaha, Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zein, Firza Huzein, R achmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Aliv Indar Al Fariz, Jamran, dan Rizal Kobar.
Pagi-pagi benar pada Jumat, 2 Desember 2016, kepolisian telah mendatangi rumah 11 aktivis. Masing-masing, dibawa ke Markas Komando Brigade Mobil, yang ada di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Selain mereka bertiga, kepolisian menduga delapan aktivis lainnya, membuat pemufakatan jahat untuk melakukan makar, sesuai Pasal 107 juncto Pasal 110, juncto Pasal 87 KUHP.
Jamran dan Rizal Kobar disangka melanggar Pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengenai penyebaran berita bohong, atau informasi untuk menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Polisi menuding mereka dengan tindak pidana berbeda. Dhani diduga melakukan tindak pidana sesuai Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang mengatur mengenai penghinaan kepada penguasa. "Untuk mencegah mereka hijack ini (Aksi Bela Islam), karena rawan sudah disiapkan juga mobil komando, maka paginya kita lakukan kegiatan penangkapan," ucap Tito.
Dalam Rapat Kerja Polri dengan Komisi III DPR, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, menjawab pertanyaan mengenai masalah ini. Setelah menjalani pemeriksaan awal, tujuh aktivis dibebaskan, dan tiga lainnya, yakni Sri Bintang, Jamran, dan Rizal, dijebloskan ke sel di Rumah Tahanan Markas Polda Metro Jaya.
"Kalau demo-demo biasa depan DPR silakan. Tetapi, kalau memaksa menduduki itu inkonstitusional," ujar Tito. Tito menjelaskan, penangkapan ini dilakukan dalam rangka penegakan hukum terhadap mereka yang ingin memanfaatkan massa aksi sebagai momen, untuk bisa menduduki Gedung DPR.
Tito berbicara tak hanya berdasarkan konferensi pers yang dilakukan sejumlah aktivis ini sehari sebelumnya, pada Kamis, 1 Desember 2016. Sebab mereka juga telah menyiapkan perangkat teknis untuk menggiring massa. Namun Polri tak mau mengambil risiko, sehingga menangkap orang-orang yang dianggap sebagai aktor intelektual dari gerakan itu, sebelum mereka bisa menggerakkan massa di Monas.
Menurut Tito, jika penangkapan dilakukan sebelum hari H pelaksanaan Aksi Bela Islam, kepolisian khawatir tindakan ini akan menimbulkan isu berupa penggembosan terhadap aksi yang sudah direncanakan pada 2 Desember 2016 itu.
Penangkapan ini sengaja dilakukan serentak dan di pagi hari menjelang digelarnya aksi. Meski sesungguhnya proses itu bisa dilakukan sebelum hari pelaksanaan Aksi Bela Islam.
Kemudian melanjutkan, "Karena itu kita setting penangkapannya subuh, karena subuh tidak ada timing lagi untuk membangkitkan, menggoreng-goreng, memprovokasi massa besar."
"Bapak-bapak (Anggota DPR) paham betul bagaimana kekuatan media sosial, dan mohon maaf bagaimana sadisnya media sosial. Kalau kita lakukan penangkapan sehari sebelumnya, maka yang terjadi nanti akan dibalik, seolah-olah ini dalam rangka penggembosan Aksi Bela Islam, wah itu berbahaya sekali," ucap Tito.
Kapolri Jelaskan soal Dugaan Makar ke DPR
Tito mengatakan hasil penyelidikan pendahuluan yang dilakukan polisi mendapati adanya kelompok yang ingin memanfaatkan massa Aksi Bela Islam III untuk meminta sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat guna memakzulkan Presiden Joko Widodo. Polisi bergerak cepat dengan menangkapi ke-11 tokoh itu sebelum aksi 2 Desember sehingga mereka tidak lagi bisa melakukan provokasi.
Penangkapan sebelas orang pada Jumat dini hari (2/12) hingga menjelang Aksi Bela Islam III pekan lalu menarik perhatian banyak pihak. Polisi mengatakan ke-11 tokoh itu dibekuk karena bermufakat jahat untuk makar atau menggulingkan pemerintahan yang sah. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelaskan rencana makar yang akan dilakukan ke-11 orang itu dalam rapat kerja dengan Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketiga orang masih ditahan adalah pendiri Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) Sri Bintang Pamungkas, Ketua Aliansi masyarakat Jakarta Utara Jamran, dan Ketua Komando Barisan Rakyat Rizal Izal.
Adanya kelompok yang merencanakan makar ini membuat pihak kepolisian mendesak supaya Aksi Bela Islam III digelar di Lapangan Monumen Nasional, bukan di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, seperti kehendak awal koodinator pengunjuk rasa yaitu GNPF (Gerakan nasional pengawal Fatwa) Majelis Ulama Indonesia). Tito menegaskan polisi ingin memastikan kegiatan gelar sajadah untuk beribadah itu tidak ditunggangi kelompok yang memiliki agenda politik tertentu.
"Untuk mencegah mereka membajak ini, karena rawan, sudah disiapkan juga mobil komando oleh mereka, maka paginya kita melakukan penangkapan. Kenapa tidak kami lakukan sehari sebelumnya, dua hari sebelumnya, tiga hari sebelumnya? Karena kalau sehari, dua hari, tiga hari sebelumnya, itu akan dipelintir. Kalau kita melakukan penangkapan sehari, dua hari sebelumnya, maka yang terjadi nanti akan dibalik seolah-olah penangkapan ini dilakukan dalam rangka penggembosan masyarakat akan melakukan Aksi Bela Islam, wah itu berbahaya sekali," ungkap Tito.
Aksi Bela Islam III pada 2 Desember lalu merupakan kelanjutan dari dua demonstrasi sebelumnya, yakni pada 14 Oktober dan 4 November. Umat Islam yang berunjuk rasa itu menuntut supaya gubernur non aktif Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok – yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penodaan agama Islam – segera ditahan. Alasan yang dikemukakan adalah polisi juga menangkap mereka yang melakukan penodaan agama dalam kasus-kasus sebelumnya.
Sedangkan yang sudah dibebaskan yakni Ketua Bidang Pengkajian Ideologi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo, mantan anggota staf ahli Panglima TNI Brigjen Purnawirawan Adityawarman Thaha, bekas Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen, aktivis Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein, Wakil Ketua Umum Bidang Ideologi Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri, tokoh buruh Alvin Indra Al Fariz, aktivis Ratna Sarumpaet, dan musikus Ahmad Dhani.
Dari 11 orang yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka itu, hanya tiga yang masih ditahan. Delapan lainnya sudah dilepaskan pada Sabtu lalu (3/12).
"Aksi 212 tersebut kami sepenuhnya meyakini ada keikhlasan karena pemahaman terhadap keyakinan. Tapi, ada sejumlah orang tidak ikhlas. Ketika Habib Rizieq memutuskan gelar sajadah di Monas, kelompok pendompleng ini mati kutu. Karena itu saya menyampaikan apresiasi tinggi kepada Habib Rizieq yang memahmi betul di luar dari gerakannya, menurut saya adalah murni, ada pendompleng," ujar Taufiqulhaq.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasional Demokrat Taufiqulhadi memuji kinerja polisi dalam mengamankan Aksi Bela Islam III – yang diikuti jutaan umat dari beragam daerah – sehingga tidak berujung pada kericuhan seperti dikhawatirkan sebagian pihak.