Pemeriksaan dilakukan DJP sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 | PT Kontak Perkasa Futures
Sampai kuartal I 2017, Kemenkeu mencatat, total penerimaan negara mencapai Rp295,1 triliun atau sekitar 16,9 persen dari total target penerimaan mencapai Rp1.750,3 triliun.
Realisasi penerimaan negara ini, terpantau lebih tinggi dibanding realisasi penerimaan kuartal I 2016 yang hanya Rp247,5 triliun atau 13,9 persen dari total penerimaan Rp1.784,2 triliun.
Adapun, realisasi penerimaan negara tersebut bersumber dari penerimaan perpajakan yang mencapai Rp237,7 triliun atau 15,9 persen dari total target di tahun ini yang mencapai Rp1.498,9 triliun.
Sedangkan untuk target penerimaan pajak, secara umum tentu DJP mengejar jumlah penerimaan pajak untuk mengisi kantong penerimaan negara sebesar Rp1.705,3 triliun, di mana sebanyak Rp1.498,9 triliun di antaranya dibidik dari penerimaan perpajakan.
"Target kami, tahun ini sekitar Rp1.750,3 triliun (sesuai dengan target penerimaan negara). Sesuai itu, kami berusaha mencari (penerimaan) untuk memenuhi itu dengan berbagai tindakan, salah satunya pemeriksaan," terang Dasto.
Sekalipun melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang sudah mengikuti tax amnesty dan yang belum, institusi penghimpun pajak itu rupanya tak menargetkan jumlah pajak khusus yang harus diperoleh dari pemeriksaan.
Pemeriksaan, menurut Dasto, lebih bertujuan untuk mengecek dan memupuk kepatuhan wajib pajak di tahun-tahun berikutnya agar tak menutupi jumlah harta dan besaran pajak yang perlu dibayar dari pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak.
Sedangkan, bagi wajib pajak yang belum mengikuti tax amnesty dan menyadari ada kekurangan pembayaran pajak, DJP berharap, agar wajib pajak segera melaporkannya dan tak menunda pembayaran pajaknya kepada negara.
Tak hanya memeriksa data wajib pajak yang belum mengikuti tax amnesty, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa DJP juga memeriksa wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty, baik yang secara orang pribadi maupun badan.
"Kami panggil wajib pajak, kemudian minta penjelasan. Kami memeriksa ini bergantung datanya seberapa akurat. Setiap kantor wilayah sudah (memeriksa), tetapi tidak perlu diekspos," tutur Ken, beberapa waktu lalu.
Setelah dilakukan konfirmasi dan sinkronisasi besaran harta dan pajak yang dimiliki dan harus dibayar wajib pajak, barulah DJP memungut pajak tersebut. Namun, kalau dirasa perhitungan belum sinkron juga, DJP dapat melakukan pemeriksaan ulang.
Namun begitu, DJP meminta para wajib pajak agar tidak resah sekalipun tidak mengikuti tax amnesty. Pasalnya, wajib pajak yang tidak mengikuti tax amnesty, namun sudah menaati aturan pelaporan pajak dengan benar dan lengkap, tak akan dibebankan oleh DJP untuk dicari-cari kekurangan pembayaran pajaknya.
"Selain itu, pemeriksaan untuk meyakinkan yang sudah ikut tax amnesty bahwa sudah melaporkan sepenuhnya. Artinya, tidak ada harta yang belum dilaporkan," kata Dasto.
Menurut Dasto, setelah pemeriksaan, DJP akan kembali melakukan komunikasi dengan wajib pajak terkait besaran pajak yang ditemukan berdasarkan perhitungan DJP, serta mengkonfirmasi jumlah harta dan pajak yang dimiliki wajib pajak.
Hal ini, sambung dia, dilakukan untuk menyinkronkan besaran harta dan pajak yang belum dilaporkan dan yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. Sebab, temuan dan perhitungan DJP bisa saja berbeda dengan wajib pajak.
"Dalam konteks mengenakan pajak, tetap setelah itu harus melalui penerbitan surat ketetapan pajak. Itu diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan, misalnya surat pemberitahuan pajak kurang bayar," jelas Dasto.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) memastikan proses pemeriksaan terhadap data perpajakan bagi wajib pajak yang tidak mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty sudah dilakukan sejak gelaran tersebut berakhir pada 31 Maret 2017 lalu.
Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP R. Dasto Ledyanto mengatakan, pemeriksaan dilakukan DJP sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Hanya saja, ia belum bisa menjabarkan seberapa rinci tahapan pemeriksaan dan wajib pajak mana saja yang diperiksa oleh DJP. "Kami melakukan, menjalankan Pasal 18. Itu akan tetap ditindaklanjuti. Kalau sudah ada kondisinya akan diinformasikan," tegas dia, Selasa (16/5).
Tak Perlu Khawatir Diperiksa Kecuali Memang Nakal | PT Kontak Perkasa Futures
Misalnya, kata Hestu setelah peserta ikut tax amnesty, masih menggunakan/mengkreditkan faktur pajak fiktif, atau tetap merekayasa pembukuannya.
"Indikasi seperti itu ada dan sedang didalami, dan jumlah WP-nya pun tidak banyak," tandasnya.
"Kami bisa pastikan bahwa untuk WP yang sudah ikut tax amnesty dan selanjutnya melaksanakan kewajibannya dengan baik dan benar, tidak akan diperiksa, kecuali terdapat data harta yang tidak diungkapkan dalam SPH tax amnesty," paparnya.
"Pemeriksaan untuk WP yang sudah ikut tax amnesty hanya dilakukan kepada WP yang kami indikasikan nakal dan tidak berubah menjadi patuh setelah ikut tax amnesty," tegas Hestu.
"Jadi secara umum, WP yang sudah ikut tax amnesty tidak perlu khawatir akan diperiksa, kecuali yang memang benar-benar nakal," ujarnya.
Hal ini sudah tertera pasal 18 UU pengampunan pajak. Hestu mengapresiasi wajib pajak yang mengikuti tax amnesty namun diharapkan agar tetap mematuhi aturan pajak, sebab yang diampuni sebelumnya hanya kesalahan sebelum tahun pajak periode 2015.
Masyarakat selaku wajib pajak (WP) seharusnya tidak perlu khawatir dengan aksi pemeriksaan dan penindakan oleh petugas Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Kecuali bila memang selama ini tidak patuh atau sudah mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty namun tidak melaporkan seluruh harta.
Demikianlah diungkapkan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama kepada detikFinance, Selasa (16/5/2017).
Bisakah target tercapai jika Ditjen Pajak berdiri sendiri | PT Kontak Perkasa Futures
Menurut Fuad, ketika Ditjen Pajak masih terikat dengan Kementerian Keuangan, maka lembaga pemungut pajak tadi menjadi tidak fleksibel. Sehingga upaya yang bisa dilakukan menajdi terbatas.
"Misalnya untuk pemeriksaan, rasio petugas dengan wajib pajak begitu lebar, sementara penambahan petugas butuh waktu yang panjang," tegas Fuad.
Kemenkeu juga tidak bisa memfasilitasi dengan optimal, karena persoalan yang ditangani sangat besar. Ada anggaran, kekayaan negara, transfer ke daerah hingga bea cukai.
"Kalau mau mencapai segala sesuatu itu terlalu susah, karena harus lewat menteri, mau bikin perjanjian dengan BI dan OJK itu harus ada dari menteri. SK dan PMK itu juga dari menteri. Prosesnya sangat lama," terangnya.
Berbicara mengenai pencapaian target penerimaan pajak, Fuad beranggapan, Dirjen Pajak nantinya bisa melakukan beberapa kebijakan seperti penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang saat ini sebesar 25 persen.
Saat masih menjabat, Fuad pernah melakukan hal serupa dengan menurunkan tarif dari 35 persen menjadi 30 persen. Asumsi awal menyebutkan bahwa penerimaan bisa turun sampai dengan 15 persen, tapi kemudian dilanjutkan dengan perubahan pada skema pengenaan.
Fuad Bawazier sepertinya memiliki pendapat yang berbeda dengan Sri Mulyani. Mantan Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII ini menilai, meski Ditjen Pajak berdiri sendiri, lembaga ini masih bisa diawasi oleh Kementerian Keuangan.
"Akan sama saja nantinya prosesnya antara Kemenkeu dengan Bank Indonesia (BI) atau dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kan juga bisa koordinasi," jelasnya.
Dalam konsepnya, Ditjen Pajak akan berada langsung di bawah Presiden namun tetap memiliki garis koordinasi dengan Kemenkeu.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu secara pribadi mengaku keberatan dengan wacana pemisahan tersebut. Alasannya, pajak adalah bagian dari kebijakan fiskal yang ada di tangan Kementerian Keuangan.
Menurut Sri Mulyani, posisi Ditjen Pajak pada masa yang akan datang bukan tujuan utama. Karena, yang terpenting adalah membangun institusi pajak yang kuat, kredibel, dan akuntabel. "Yang punya kompetensi, integritas, sehingga di mana pun dia ditempatkan dia bisa berfungsi," jelasnya dalam laporan Sindonews.com, April 2017.
Calon beleid tersebut merupakan amandemen kelima dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP, yang terakhir direvisi oleh UU Nomor 16 Tahun 2009. Dalam draf RUU KUP yang baru, rencana pembentukan lembaga perpajakan baru tersebut dibunyikan pada Bab XXIII, tepatnya pada pasal 124.
Wacana ini bisa jadi tersendat. Terlebih setelah adanya perombakan kabinet (reshuffle) yang menetapkan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan menggantikan Bambang.
Rencananya, Ditjen Pajak akan menjadi badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ditjen Pajak kemungkinan akan berubah nama menjadi Badan Penerimaan Negara atau Badan Penerimaan Pajak.
Meski begitu, Ditjen Pajak tetap harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. Sebab, penarikan pajak yang merupakan sumber penerimaan negara menjadi siklus dari kebijakan fiskal Kementerian Keuangan.
Dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), lembaga baru tersebut ditargetkan mulai beroperasi paling lambat 1 Januari 2017.
Utamanya, sebut Fuad dalam detikcom, dalam hal penambahan pegawai untuk pemeriksaan wajib pajak, berikut dengan penambahan kantor bila diperlukan. Hingga pada akhirnya bisa menyusun berbagai kebijakan yang mampu mendorong penerimaan.
Wacana pelepasan Ditjen Pajak sebenarnya sudah ada sejak 2015. Februari 2015, Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro dan juga Jokowi disebut telah menandatangani rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait wacana itu. Rancangan itu pun sudah dikirimkan ke DPR untuk dilakukan pembahasan.
Rasio pajak pun tercatat terus menurun. Pada masa Orde Baru, rasio pajak bisa mencapai 13 persen. Sementara untuk 2012 sampai dengan 2014, hanya sedikit di atas 11 persen, 2015 dan 2016 masing-masing hanya 10,7 persen dan 10,3 persen.
Beban Ditjen Pajak semakin berat ketika Presiden Joko "Jokowi" Widodo menginginkan rasio pajak pada 2019 bisa mencapai 16 persen.
Wacana pemisahan lembaga pemungut pajak ini dari Kementerian Keuangan pun kembali bergulir. Fuad Bawazier, mantan Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) menilai, dengan berdiri sendiri, maka Ditjen Pajak bisa mengatur ulang organisasi seperti yang diharapkan.
Bahkan sejak 2015, realisasi pajak tidak ada yang berhasil mencapai 90 persen.
Pada 2016 saja, realisasi pajak hanya mencapai 81,54 persen. Pencapaian pada 2016 saja masih terbantu dengan program amnesti pajak, karena jika tidak, kemungkinan realisasi pajak hanya akan sampai pada kisaran 70 persen.
Target penerimaan pajak yang tak pernah tercapai lagi dalam satu dekade terakhir menjadi catatan penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan.
Catatan Ditjen Pajak menunjukkan, terakhir kalinya target pajak terpenuhi adalah pada 2008, dengan pencapaian surplus Rp36,57 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp534,53 triliun. Sejak saat itu, realisasi pajak tak pernah menembus angka 100 persen dari target yang ditetapkan.