Mirza Adityaswara mengungkapkan, perlu waktu yang panjang bagi Indonesia agar diakui sebagai negara yang layak investasi | PT Kontak Perkasa Futures
"Sebenarnya cost of financing Indonesia itu sudah mencerminkan investment grade, sejaksejak 2 tahun lalu. Jadi memang S&P saja yang sebelumnya terus mendunda-nunda," papar Mirza.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menilai, peringkat investment grade akan membuat kepercayaan pasar modal dan sektor keuangan meningkat.
Salah satu indikatornya adalah pergerakan pasar saham yang menguat usai pengumuman invesment grade dari S&P.
"Investment grade itu akan membuat kepercayaan di pasar modal atau kepada sektor keuangan menjadi meningkat," kata Nurhaida.
Menurut Mirza, dengan adanya kenaikan peringkat tersebut, maka akan berdampak pada masuknya aliran dana asing kepada Indonesia yang meningkat. "Dengan adanya ini maka aliran modal masuk ke Indonesia akan lebih banyak lagi masuk ke pasar modal," jelasnya.
Dengan itu, Indonesia akan mendapatkan sumber pendanaan untuk pembangunan ekonomi kedepan.
Kendati demikian, pada periode 1997 hingga 1999 krisis finansial menghantam Asia dan mengubah kondisi perokonomian di Indonesia, hingga puncaknya Fitch dan Moody’s melakukan penurunan peringkat atas Indonesia menjadi B- dan B3 dan S&P memangkas peringkat Indonesia menjadi selective default (SD).
"Dulu kita 1998 terkena krisis rating kita dari investment grade turun sampai ke SD," tambah Mirza.
Tercatat Indonesia pernah meraih status investment grade dari S&P pada saat sebelum krisis ekonomi 1998 lalu. Saat itu, Indonesia meraih status investment grade perdana dari S&P pada medio 1992.
Kemudian lembaga pemeringkat internasional lainnya yakni Moody’s juga memberikan status tersebut pada Maret 1994 dan Fitch pada Juni 1997.
Mirza mengatakan, lembaga pemeringkat dunia yakni Standard & Poor (S&P) telah memberikan rating investment grade atau layak investasi di Indonesia. Peringkat tersebut lepas dari Indonesia sejak krisis ekonomi 1998 silam.
"Kita mendapatkan hal ini (investment grade) dari S&P?. Apa istimewanya? Saya sampaikan kita pernah mencapai investment grade 20 tahun yang lalu," ungkap Mirza saat acara Diseminasi Buku Laporan Keuangan Indonesia 2016 di The Anvaya, Depnasar, Bali, Senin (22/5/2017).
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengungkapkan, perlu waktu yang panjang bagi Indonesia agar diakui sebagai negara yang layak investasi.
BI Harap Semakin Banyak Dana Investor Asing Masuk ke Indonesia | PT Kontak Perkasa Futures
Para investor asing (PMA) biasanya sangat melihat rating, maka diharapkan bisa lebih banyak lagi masuk," ujar Mirza.
Menurutnya, semakin banyak dana asing masuk, semakin banyak pula sumber pendanaan baru bagi pembiayaan infrastruktur Indonesia. "Setelah S&P menaikkan rating, tentu harapan kita outlook akan positif. BI, komitmen, dan lainnya berkomitmen menjaga pengelolaan makro ekonomi yang baik," tegas Mirza.
Di antaranya, ia menyebutkan, dengan menjaga defisit anggaran, neraca perdagangan, serta inflasi di Kisaran tiga sampai lima persen.
"Sebelumnya S&P menunda-nunda terus dan baru baru kemarin Jumat menaruh kita di investment grade," ujarnya, di Bali, Senin, (22/5). Mirza menambahkan, sebenarnya yield obligasi Indonesia sudah mencerminkan investment grade sejak dua tahun lalu.
Bahkan lembaga pemeringkat lain seperti Moody's serta Fitch sudah lebih dulu menaikkan peringkat Indonesia pada 2012 dan 2011. Maka peringkat dari S&P diharapkan bisa membuat cost of financing bisa naik.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai, keputusan S&P ini cukup istimewa. Pasalnya, Indonesia kembali mendapatkan investment grade setelah 20 tahun. Ia mengungkapnya, sebelumnya Indonesia pernah mendapatkan peringkat tersebut pada 1997, namun karena krisis 1998, S&P langsung menurunkan rating Indonesia jauh dari investment grade.
Lembaga Pemeringkat internasional Standard & Poor (S&P) telah menaikkan peringkat Indonesia menjadi layak investasi (investment grade). Bank Indonesia (BI) pun menyambut baik hal itu, dan berharap akan semakin banyak dana investor asing yang masuk ke Indonesia.
Investment Grade S&P Permudah Indonesia Cari Utang Baru | PT Kontak Perkasa Futures
Selain itu, kata Bambang, dirinya berharap agar bunga surat utang yang diterbitkan pemerintah dapat terus turun. "Dan yang paling penting biaya bunganya turun," tutur dia.
Seperti diketahui, pada 19 Mei 2017 lalu, S&P memberikan peringkat utang Indonesia dengan level Investment grade. Penilaian diberikan karena melihat adanya efektivitas kebijakan fiskal dan fokus Indonesia pada penciptaan anggaran yang lebih realistis sehingga ketakutan akan defisit melebar ke depan tidak terjadi.
Perlu diketahui, sebelum S&P ada dua lembaga sejenis berikan penilaian, yaitu Moody's memberikan peringkat Baaa3 atau outlook positive dan Fitch yang memberikan peringkat BBB- atau outlook positive untuk peringkat utang Indonesia.
"Kalau saya lihat selama ini, kita dengan dua dari tiga, itu pun cost-nya sudah setara dengan investment grade. Jadi, harapannya dengan S&P yang sudah memberikan investment grade, cost of fund-nya sudah turun lagi dan ini membuat surat utang kita menjadi lebih kompetitif," ujar Bambang.
"Bagus, karena, S&P ini membuka peluang ketika kita mencari utang dari market. Dulu itu banyak lembaga-lembaga yang punya uang, dan hanya mau membeli surat berharga kalau dari tiga (lembaga) rating itu semuanya sudah (beri nilai) investment grade," kata Bambang di hotel Pullman, Jakarta, Senin 22 Mei 2017.
Mantan Menteri Keuangan ini, melihat bahwa selama ini posisi Indonesia sudah cukup baik setelah dua lembaga pemeringkat memberikan peringkat layak investasi atau Investment Grade yakni Fitch Rating Agency dan Moody's.
Lembaga pemeringkat Standard and Poor's menaikkan peringkat utang Indonesia ke level Investment Grade atau layak investasi pada level BBB- atau stable. Melalui status ini, Indonesia berpeluang untuk memperluas pasar utang ke luar negeri.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, pihaknya mengapresiasi penilaian dari S&P. Hal ini diyakini membuka peluang Indonesia mencari dana melalui penerbitan surat utang.