Saham-saham di Wall Street ditutup menguat di akhir perdagangan Kamis atau Jumat (16/12/2016) dini hari waktu Indonesia. Penguatan ditenagai oleh saham-saham perbankan yang berbalik arah setelah sebelumnya melemah merespon keputusan The Fed menaikkan suku bunga acuannya.
Pengumuman The Fed pada Rabu menyebabkan pelemahan pasar terbesar sejak pelaksanaan pilpres AS pada 8 November. Namun demikian, para investor kembali melakukan aksi beli yang membuat harga berbagai saham menguat, termasuk juga dollar AS.
"Kami kembali pada posisi di mana semuanya berharap bahwa iklim ekonomi yang pro pertumbuhan, yakni pro-growth, pro-business, dan kelonggaran regulasi," ujar Art Hogan, chief market strategist pada Wunderlich Securities sebagaimana dikutip dari AFP.
Indeks Dow Jones Industrial menguat 0,3 persen dan berakhir di 19.852,24. Sementara itu indeks S&P 500 ditutup naik 0,4 persen menjadi 2.262,03, sedangkan indeks Nasdaq menguat 0,4 persen menjadi 5.456,85.
Saham-saham sektor finansial memimpn penguatan di bursa AS, seperti halnya JPMorgan Chase naik 1,5 persen, Bank of America 2,2 persen dan Citigroup 1,3 persen.
DI sisi lain, saham Yahoo anjlok 6,1 persen di tengah kekhawatiran bocornya data users akan menggagalkan aksi akuisisi oleh Verizon atas aset senilai 4,8 miliar dollar AS. Di sisi lain, saham Verizon menguat 0,4 persen.
Dolar Makin 'Perkasa', Trump Dapat Masalah Baru
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat terhadap mata uang dunia, setelah Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya. Kondisi ini bisa menjadi masalah bagi Presiden AS terpilih, Donald Trump, dalam menjalankan agenda ekonomi.
Dolar AS menyentuh tingkat tertingginya terhadap euro dan beberapa mata uang lain pada Kamis kemarin, setelah The Fed menaikkan suku bunga acuannya, dan memberi sinyal adanya kenaikan lagi di 2017.
Padahal pasca kemenangan Trump sebagai Presiden AS, dolar terus dalam tren naik. Trump memang berencana mendorong pertumbuhan ekonomi AS dan juga menaikkan inflasi. Kebijakan ini akan mengerek kenaikan suku bunga acuan.
Banyak analis yang memperkirakan dolar AS akan terus naik ke depan, setelah sejak terpilihnya Trump hingga saat ini, dolar AS naik 5% terhadap enam mata uang utama di dunia.
"Kami memperkirakan dolar AS akan terus menguat," kata Analis dari Wells Fargo, Eric Viloria, seperti dilansir dari AFP, Jumat (16/12/2016).
Trump sebelumnya pernah mengingatkan soal efek negatof dari penguatan dolar AS. "Bila kita menaikkan suku bunga dan dolar akan makin kuat, maka kita akan mengalami sejumlah masalah," kata Trump kepada CNBC, Mei lalu.
Kenaikan suku bunga acuan memang akan menimbulkan permintaan terhadap dolar AS.
Di satu sisi, penguatan dolar akan menguntungkan masyarakat AS selaku konsumen, dalam membeli barang-barang impor, karena harganya akan lebih murah. Sehingga inflasi bisar terjaga rendah.
Namun di sisi lain, barang ekspor AS akan turun daya saingnya. Karena harga barang ekspor dari AS mahal akibat dolar yang tinggi. Ekspor makin penting untuk perekonomian AS.
Secara persentase terhadap PDB, ekspor barang dan jasa AS naik menjadi 12,6% di 2015, dari 9,1% di 2002 lalu.
Angka ekspor AS terus bertambah. Ada sensitivitas dari ekonomi terhadap penguatan dolar AS dibandingkan 5 atau 10 tahun yang lalu. Jadi ekonomi AS saat ini sangat bergantung kepada ekspor, termasuk di sektor pertanian dan baja.
Sektor yang berorientasi ekspor ini menderita akibat penguatan dolar. Sementara Trump, berencana mendorong perusahaan-perusahaan di AS untuk membangun pabrik di dalam negeri. Ini akan sulit dilakukan bila dolar AS menguat, khususnya untuk industri yang berorientasi ekspor.
Lalu, meski saham-saham di AS naik tajam sejak terpilihnya Trump, karena kebijakan pemangkasan pajak, namun penguatan dolar AS menekan kinerja perusahaan multinasional.
Penguatan dolar membuat kinerja perusahaan multinasional asal AS turun, karena harus mengonversi pendapatan dengan mata uang asing menjadi dolar AS.